Abdu Mas’ud
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Perubahan dan perkembangan aspek kehidupan perlu ditunjang oleh kinerja pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan yang berkualitas sanat diperlukan untuk mendukung terciptanya manusia yang cerdas serta mampu bersaing di era globalisasi. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar dalam membentuk karakter, perkembangan ilmu dan mental seorang anak, yang nantinya akan tumbuh menjadi seorang manusia dewasa yang akan berinteraksi dan melakukan banyak hal terhadap lingkungannya, baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial.
Mengacu kepada Sistem Pendidikan Nasional (undang-undang No. 20 Tahun 2003), dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Sanjaya, 2006).
Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan dimasa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta ddik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya. Secara total, pendidikan merupakan suatu system yang memiliki kegiatan cukup kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitam satu sama lain. Jika menginginkan pendidikan terlaksana secara teratur, berbagai elemen (komponen) yang terlibat dalam kegiatan pendidikan perlu dikenali. Pendidikan dapat dilihat dari huungan elemen peserta didik (siswa), pendidik (guru), dan interaksi keduanya dalam usaha pendidikan.
David W. Jonhson dan Rogert T. Johnson dalam Sahabuddn (1999) mengemukakan bahwa keefektivan belajar adalah implementasi yang berhasil dari komponen-komponen pengajaran. Oleh krena itu, di dalam proses belajar mengajar, guru harus memiliki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien serta mengena pada tujuan yang diharapkan. Strategi tersebut dapat diterapkan melalui berbagai pendekatan dalam proses pembelajaran yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan kedaan peserta didik.
B.Rumusan Masalah
1.Bagaimanakah Pendekatan Pembelajaran Kontekstual?
2.Bagaimanakah Pendekatan Pembelajaran Science Environment Technology Society (SETS)?
3.Bagaimanakah Pendekatan Pembelajaran Multikultural?
4.Bagaimanakah Pendekatan Pembelajaran Kooperatif?
PEMBAHASAN
A.Pendekatan Pembelajaran Kontekstual.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai masyarakat (Nurhadi, 2004:13).
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruktivisme berkembang. Dasarnya, pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya.
Melalui landasan filosofi konstruktivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’, bukan ‘menghafal’.
Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna.
1.Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Dalam bagian berikut akan disampaikan beberapa karakteristik pembelajaran kontekstual yang dikemukakan beberapa ahli. Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual, seperti dalam rincian berikut:
a.Melakukan hubungan yang bermakna (making meanigful connections).
Siswa dapat mengatur diri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
b.Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work).
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
c.Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning).
Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan, ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produk/hasilnya yang sifatnya nyata.
d.Bekerja sama (collaborating).
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
e.Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking).
Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif, dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
f.Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual).
Siswa memelihara pribadinya, mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
g.Mencapai standar yang tinggi (reaching high standars).
Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi, mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
h.Menggunakan penilaian autentik (using authentic assesment).
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
2.Fokus Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan itu maka pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut:
a.Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu pendekatan pengajaran yag menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain.
b.Pegajaran autentik (authentic instruction), yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata.
c.Belajar berbasis inquiri (inquiry based learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
d.Belajar berbasis proyek/tugas (project based learning) yang membutuhkkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk (membentuk) pembelajarannya, dan mengkulminasikannya dalam produk nyata.
e.Belajar berbasis kerja (work based learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa.
f.Belajar berbasis jasa layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengn suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut, jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan lainnya.
g.Belajar kooperatif (cooperative learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.
3.Prinsip Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, untuk menerapkan pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran berikut ini:
a.Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (developmentally appropriate) siswa.
b.Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent learning groups).
c.Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learning).
d.Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of students).
e.Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelligences).
f.Menggunakan teknik-teknik bertanya (questioning).
g.Menerapkan penilaian autentik (authentic assesment).
4.Peran Guru dalam Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Agar proses pengajaran kontekstual lebih efektif, guru perlu melaksanakan beberapa hal sebagai berikut:
a.Mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari oleh siswa.
b.Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
c.Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep dan kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual.
d.Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang di[pelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka.
e.Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya.
f.Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian teresbut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya.
5.Penerapan Pembelajaran Kontekstual di Kelas
Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas. Ketujuh koponen utama itu adalah konstruktivisme, bertanya, inquiry, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. Dan, untuk melaksanakan hal itu tidak sulit. Pembalajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Gambaran sederhana penerapan ketujuh komponen pembelajaran kontekstual di kelas sebagai berikut:
a.Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya!Komponen Konstruktivisme sebagai filosofi.
b.Laksanakan kegiatan inquiry untuk mencapai kompetensi yang diinginkan di semua bidang studi! Komponen inquiry sebagai strategi belajar.
c.Bertanya sebagai alat belajar: kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya! Komponen bertanya sebagai keahlian dasar yang dikembangkan.
d.Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok)! Komponen masyarakat belajar sebagai penciptaan lingkungan belajar.
e.Tunjukkan model sebagai contoh pembelajaran! (benda-benda, guru, siswa lain, karya inovasi, dll). Komponen pemodelan, model sebagai acuan pencapaian kompetensi.
f.Lakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu!Komponen refleksi sebagai langkah akhir dari belajar.
g.Lakukan penilaian yang sebenarnya: dari berbagai sumber dan dengan berbagai cara! Komponen penilaian yang sebenarnya.
B.Pendekatan Pembelajaran Science Environment Technology Society (SETS).
Kata SETS (Science Environment Technology and Society) dapat dimaknakan sebagai sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat, merupakan satu kesatuan yang dalam konsep pendidikan mempunyai implementasi agar anak didik mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Pendidikan SETS dapat diawali dengan konsep-konsep yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar kehidupan sehari-hari peserta didik atau konsep-konsep rumit sains maupun non sains.
Sejarah membuktikan bahwa kehidupan di masa lalu beserta pendidikan generasi mudanya sama sekali tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Setiap produk yang dihasilkan baik teknologi maupun sumber daya manusianya berlomba-lomba untuk mengeksplorasi kekayaan bumi tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan di masa yang akan datang. Setelah berbagai masalah dalam kehidupan yang disebabkan oleh kerusakan bumi begitu menggejala, barulah sebagian negara, beberapa lembaga swadaya masyarakat dan aktivis pecinta lingkungan hidup bersuara.
Sejak itulah dalam dunia pendidikan mulai diintegrasikan pendidikan berwawasan lingkungan, misalnya Pendidikan bervisi STS (Science Technology Society) berarti pendidikan bervisi Sains Teknologi dan Masyarakat, Pendidikan bervisi EE (Environmental Education) berarti pendidikan lingkungan hidup, pendidikan STL (Sciencetific and Technological Literacy) artinya pendidikan berwawasan Sains dan merujuk Teknologi. Beberapa waktu berlalu belum menampakkan hasil optimal dari pengintegrasian visi-visi tersebut dalam pendidikan. Untuk itulah perlu dikembangkan pendidikan bervisi SETS sebagai satu kesatuan Sains, Lingkungan, Teknologi dan Masyarakat yang tidak boleh dipisahkan.
1.Hakekat Pembelajaran Science Environment Technology Society
Hakekat SETS dalam pendidikan merefleksikan bagaimana harus melakukan dan apa saja yang bisa dijangkau oleh pendidikan SETS. Pendidikan SETS harus mampu membuat peserta didik yang mempelajarinya baik siswa maupun warga masyarakat benar-benar mengerti hubungan tiap-tiap elemen dalam SETS. Hubungan yang tidak terpisahkan antara sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat merupakan hubungan timbal balik dua arah yang dapat dikaji manfaat-manfaat maupun kerugian-kerugian yang dihasilkan. Pada akhirnya peserta didik mampu menjawab dan mengatasi setiap problem yang berkaitan dengan kekayaan bumi maupun isu-isu sosial serta isu-isu global, hingga pada akhirnya bermuara menyelamatkan bumi.
Keberhasilan Pendidikan SETS dengan kedalaman yang memadai sangat relevan untuk memecahkan problem yang melanda kehidupan sehari-hari. Misalnya masalah pencemaran, pengangguran, bencana alam, kerusuhan sosial dan lain-lainnya. Isu-isu tersebut dapat dibawa ke dalam kelas dan dikaji melalui pendidikan SETS untuk dicarikan pemecahannya, paling tidak pencegahannya.
Pendidikan SETS pada hakekatnya akan membimbing peserta didik untuk berpikir global dan bertindak lokal maupun global dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari. Masalah-masalah yang berada di masyarakat dibawa ke dalam kelas untuk dicari pemecahannya menggunakan pendidikan SETS secara terpadu dalam hubungan timbal balik antar elemen-elemen sains, lingkungan, teknologi, masyarakat.
Peserta didik dilatih agar mampu berpikir secara global dalam memecahkan masalah lokal, nasional maupun internasional sesuai dengan kadar kemampuan berpikir dan bernalarnya. Peserta didik dibimbing untuk memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah di masyarakat dan berperan aktif untuk turut mencari pemecahannya.
Pendidikan SETS ini dapat mengatasi kelemahan sistem pendidikan klasik dimana peserta didik diajak melaju untuk menyelesaikan materi pelajaran, tanpa diketahui dengan jelas implementasi peserta didik terhadap daya serap materi pelajaran (Apakah materi pelajaran dapat dikuasai keseluruhan atau sebagian, dan kompetensi dasar apa yang sudah dicapai). Sehingga Pendidikan SETS dapat mengantisipasi beberapa hal pokok dalam membekali peserta didik, diantaranya :
a.Menghindari ‘materi oriented’ dalam pendidikan tanpa tahu masalah-masalah di masyarakat secara lokal, nasional, maupun internasional.
b.Mempunyai bekal yang cukup bagi peserta didik untuk menyongsong era globalisasi (AFTA–2003, AFAS–2003, WTO–2010).
c.Peserta didik mampu menjawab dan mengatasi setiap masalah yang berkaitan dengan kelestarian bumi, isu-isu sosial, isu-isu global, misalnya masalah pencemaran, pengangguran, kerusuhan sosial, dampak hasil teknologi dan lain-lainnya hingga pada akhirnya bermuara menyelamatkan bumi.
d.Membekali peserta didik dengan kemampuan memecahkan masalah-masalah dengan penalaran sains, lingkungan, teknologi, sosial secara integral, baik di dalam maupun di luar kelas.
Pendidikan SETS mencakup topik maupun konsep yang berhubungan dengan sains, teknologi, lingkungan dan berbagai hal yang diperkirakan melanda masyarakat. Obyek-obyek pendidikan yang dipelajari pada akhirnya diharapkan dimengerti dengan baik korelasinya dengan keempat elemen utama SETS.
Pendidikan SETS bukan pendidikan di angan-angan atau di atas kertas saja, melainkan pendidikan SETS benar-benar membahas sesuatu yang nyata / riil, bisa dipahami, dapat dilihat dan dibahas dan bisa dipecahkan jalan keluarnya. Kurang pada tempatnya jika pembahasan SETS hanya sebatas elemen per elemen yang terpisah satu sama lain. Apabila hal itu dilakukan sama artinya dengan memfokuskan pada salah satu unsur dari SETS.
Keempat unsur pada Pendidikan SETS saling berinteraksi dalam membahas suatu konsep pendidikan baik sins maupun non sains. Untuk memenuhi kepentingan peserta didik perlu diciptakan suatu program yang sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik maupun warga masyarakat. Para guru diharapkan lebih berhati-hati dalam pengajarannya jika memasukkan konsep atau topik yang akan dibahas dengan teknik Pendidikan SETS. Topik tersebut harus aktual dan sesuai dengan subyek yang sedang dipelajari dan tentunya tidak bertentangan dengan kurikulum yang dibakukan. Satu hal yang paling penting, Pendidikan SETS harus dapat membawa setiap peserta didik berperan serta dalam kegiatan pembelajaran.
2. Tujuan Pendekatan Science Environment Technology Society
Tujuan Pendidikan SETS adalah untuk membantu peserta didik mengetahui sains, perkembangan sains, teknologi-teknologi yang digunakannya, dan bagaimana perkembangan sains serta teknologi mempengaruhi lingkungan serta masyarakat. Pendidikan SETS berupaya memberikan pemahaman tentang peranan lingkungan terhadap sains, teknologi, masyarakat. Sebaliknya peranan masyarakat terhadap arah perkembangan sains, teknologi dan keadaan lingkungan. Termasuk juga peranan teknologi dalam penyesuaiannya dengan sains, manfaatnya terhadap masyarakat dan dampak-dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Tidak ketinggalan peranan sains untuk melahirkan konsep-konsep yang berdaya guna positif, keterlibatannya pada teknologi yang dipakai maupun pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan secara timbal balik.
Jadi tujuan utama Pendidikan SETS ialah bagaimana membuat agar SETS dapat menolong manusia membuat surga dunia di muka bumi ini, bukan sebaliknya menciptakan neraka dunia dalam segala aspek kehidupan. SETS sesungguhnya harus mampu menolong setiap negara di dunia untuk mewujudkan kemakmuran bagi semua warga negaranya.
Dalam memberikan pengantar Pendidikan SETS kepada peserta didik, setiap guru harus dapat menciptakan variasi pendekatan atau konsep pembelajaran yang disesuaikan tingkat kemampuan maupun obyektivitas dari pendidikan SETS itu sendiri. Perlu diingat bahwa tidak tertutup kemungkinan seorang siswa memiliki peluang lebih besar untuk mengalami sesuatu topik masalah secara lebih nyata dibanding dengan gurunya. Apabila hal itu terjadi, para guru hendaknya tidak merasa berkecil hati, justru merasa lebih tertantang dengan kondisi yang ada untuk belajar lebih keras dan mencoba mendahului kemampuan muridnya dengan tujuan positif. Jangan sampai terjadi karena muridnya diketahui lebih cepat dapat mengakses pengetahuan yang ada, seorang guru menjadi tidak suka atau antipati kepada muridnya. Segi baik lainnya adalah setiap murid secara perorangan dapat mengoptimalkan pengetahuan yang dimilikinya untuk bekerja sama dengan temannya dalam proses Pendidikan SETS. Hal ini mengandung arti murid yang bersangkutan telah belajar bagaimana bersosial masyarakat.
3.Pelaksanaan Pendekatan Science Environment Technology Society
Berkenaan dengan strategi pelaksanaan pendekatan STM, Anna Poedjiadi (1995: 4) mengemukakan hal sebagai berikut:
Pelaksanaan pendekatan STM dapat dilakukan melalui tiga macam strategi yaitu strategi pertama, menyusun topik-topik tertentu yang menyangkut konsep-konsep yang ingin ditanamkan pada peserta didik. Pada awal perubahan tiap topik, guru memperkenalkan atau menunjukkan kepada peserta didik adanya isu atau masalah dilingkungan peserta didik atu menunjukkan aplikasi sains atau suatu produk teknologi yang ada dilingkungan mereka. Masalah atau isu yang ada dilingkungan masyarakat dapat pula diusahakan agar ditemukan oleh peserta didik sendiri setelah guru membimbing dengan cara-cara tertentu. Melalui kegiatan eksperimen atau diskusi kelompok yang dirancang oleh guru akhirnya dibangun atau dikonstruktur pengetahuan pada peserta didik, dalam hal ini pengetahuan yang berbentuk konsep-konsep . Strategi ini mirip dengan stategi pendidikan IPA terpadu. Perbedaannya ialah bahwa pada program STM, isu atau masalah harus diangkat pada awal pembahasan topik yang diajarkan, sedangkan dalam IPA terpadu tidak mutlak harus dilaksanakan demikian.
Strategi kedua, menyajikan suatu topik yang relevan dengan konsep-konsep tertentu yang termasuk dalam GBPP. Pada saat membahas konsep-konsep tertentu suatu topik yang relevan telah dirancang sesuai strategi pertama dapat diterapakan dalam pembelajaran. Dengan demikian program STM merupakan suplemen dari kurikulum.
Strategi ketiga, mengajak peserta didik untuk berpikir dan menemukan aplikasi konsep sains dalam industri atau produk teknologi yang ada di masyarakat di sela-sela kegiatan belajar berlangsung, contoh-contoh adanya aplikasi konsep sains, isu atau masalah sebaiknya diperkenalkan pada awal pokok bahasan tertentu untuk meningkatkan motivasi peserta didik mempelajari konsep-konsep selanjutnya atau mengarahkan perhatian peserta didik kepada materi yang akan dibahas sebagai apersepsi.
Ada beberapa hal yang dipandang menjadi kelebihan dari pendekatan integratif (SETS) dibanding menggunakan pendekatan lain, antara lain: Bisa meningkatkan motivasi belajar siswa; bisa meningkatkan prestasi hasil belaj ar siswa; bisa meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar biologi; pendekatan integratif pada pembelajaran biologi diharapkan bisa melatih siswa dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan multidisiplin ilmu dan interdisi¬pliner, sehingga pemahaman siswa terhadap sesuatu masalah lebih bersifat kompreheinsif. Dengan pendekatan integratif siswa akan dilatih bekerjasama dengan ang¬gota kelompok dalam memecah¬kan permasalahan.
C.Pendekatan Pembelajaran Multikultural.
Multikultural dalam pengertian Teminologi, yaitu “multi” yang berarti jamak atau plural, “kultural” berisi pengertian kultur atau budaya, sedangkan menurut Istilah : Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multikultural” Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multikultural dan multi-lingual” sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan” (Gorski dan Paul, 2008).
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (2000), pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki empat dimensi yang saling berkaitan:
•Content integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
•The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
•An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
•Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;
a.Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
b.Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
c.Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
d.Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Menurut Tilaar (2002), pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiference” dan “Non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis.
Pendidikan multikulturalisme menurut Tilaar (2004), biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2.Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural).
3.Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4.Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi (Mahfud Choerul, 2006).
Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis,budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut.
Satu, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Dua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Tiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Empat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia (Tilaar, 2004)
Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.
Agar pendidikan lebih multikultural, maka kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan peran guru harus dibuat multikultural. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain. Suasana sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
Kegiatan ekstrakurikuler hendaknya juga multinilai. Sikap menghargai orang yang berbeda dari budaya lain akan lebih berkembang bila siswa mempraktikkan dan mengalami sendiri. Maka, model live-in, tinggal di tengah orang yang berbudaya lain, amat dapat membantu siswa menghargai "budaya lain". Misalnya siswa dari Bali ikut live-in satu minggu di tengah orang Sunda. Bila mereka mengalami bahwa di situ diterima dengan baik, mereka akan dibantu lebih penghargai budaya Sunda. Proyek dan kepanitiaan di sekolah baik juga diatur dengan lebih variasi dan beragam. Setiap panitia terdiri dari aneka macam siswa dari berbagai suku, ras, agama, budaya, dan jender. Ini akan lebih menumbuhkan semangat kesatuan dalam perbedaan yang ada.
Diskusi dan debat tentang persoalan konflik di masyarakat yang diakibatkan perbedaan budaya dapat membantu siswa kian mengerti makna perbedaan. Maka, penting siswa tidak diasingkan dari persoalan masyarakat. Mereka diajak kritis mengamati apa yang terjadi di masyarakat terlebih dalam kaitan penghargaan terhadap nilai orang lain. Siswa diberi kesempatan mendalami persoalan masyarakat multibudaya. Aneka gagasan coba diterima dan dibuka, sehingga anak sadar akan keanekaan itu.
Belajar bahasa suku lain, amat berguna. Indonesia terdiri dari banyak pulau dan suku dengan bahasa yang berbeda. Negara kita mempunyai satu bahasa nasional, Indonesia. Dan, ini baik untuk alat komunikasi antarwarga Indonesia. Namun, yang kiranya tidak boleh ditinggalkan adalah bahwa kita akan lebih dibantu menghargai orang dan budaya lain, bila kita dapat mengerti bahasa mereka. Lewat bahasanya, terutama dapat menggunakannya, orang akan mudah mengerti makna terdalam budaya orang lain. Maka, semakin mengenal bahasa suku lain, akan semakin mendorong kita untuk mengerti mereka lebih dalam dan menerima serta menghargai. Kiranya usaha menghargai budaya lain dapat juga secara edukatif menekankan pentingnya belajar bahasa suku-suku lain. Bila dorongan ini sejak awal ditekankan pada siswa, maka akan membantu mereka lebih mengerti orang dari suku lain.
Peran guru dalam pendidikan multikultur juga amat penting. Guru harus mengatur dan mengorganisir isi, proses, situasi, dan kegiatan sekolah secara multikultur, di mana tiap siswa dari berbagai suku, jender, ras, berkesempatan untuk mengembangkan dirinya dan saling menghargai perbedaan itu. Guru perlu menekankan diversity dalam pembelajaran, antara lain dengan 1) mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa; dan 2) mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Dalam pengelompokan siswa di kelas mapun dalam kegiatan di luar kelas guru diharapkan memang melakukan keanekaan itu.
D.Pendekatan Pembelajaran Kooperatif.
Pada abad ke-21 ini, paradigma pendidikan mulai bergeser dari paradigma behavoristik ke paradigma konstruktivistik. Paradigma behavioristik berasumsi bahwa pengetahuan dapat “dipindahkan” dari pikiran guru ke pikiran peserta didik. Sehingga pembelajaran dengan filosofi konstruktivisme diharapkan dapat memecahkan masalah ini.
Salah satu metode pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan prinsip konstruktivistik adalah model pembelajaran yang kini popular dengan istilah pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran ini mengacu pada metode pembelajaran di mana peserta didik bekerja bersama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar untuk memecahkan berbagai masalah-masalah terkait dengan materi yang dipelajari (Nurhayati dan Wellang, 2004).
Model pembelajaran kooperatif sangat tepat diterapkan dalam pembelajaran Biologi. Materi-materi dalam mata pelajaran Biologi sebagian besar adalah teori. Sehingga apabila diajarkan hanya dengan materi ceramah, maka siswa akan belajar secara monoton. Menerima pelajaran dari guru, mendengarkan penjelasan guru, mencatat, dan seterusnya sehingga siswa cenderung bersikap pasif. Hal inilah yan tidak disetujui oleh beberapa pakar pendidikan.
Jeromes Brunner, seorang ahli psikologi Amarika Serikat menekankan betapa pentingnya keterlibatan anak di dalam belajar mereka sendiri. Brunner menyatakan bahwa anak harus dipandang bukan sebagi objek tetapi sbegai subjek, bukan sebagi penonton tetapi sebagi peserta. Pendapat Brunner didukung oleh pendapat Carl Roger yang menyatakan bahwa kualitas hubungan antara guru dan anak-anak beserta lingkungan kelas merupakan ramuan-ramuan yang menentukan dalam pendidikan. Siswa harus melakukan usaha sendiri untuk memperoleh pengetahuan.
Pembelajaran kooperatif menempatkan peserta didik pada kelompok-kelompok kerja dan tinggal bersama sebagai satu kelompok. Mereka dilatih keterampilan-keterampilan spesifik untuk membantu mereka bekerja sama dengan baik. Misalnya menjadi pendengr yang baik, mengajukan pertanyaan dengan benar, menjawab pertanyaan dengan benar, dan sebagainya ( Nurhayati dan Wellang, 2004).
Pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur tugas, tujuan, dan penghargaan kooperatif. Siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong dan dikehendaki untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas. Dalam penerapan pembelajaran kooperatif, dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai satu penghargaan bersama. Mereka akan berbagi penghargaan tersebut jika mereka berhasil sebagai kelompok (Ibrahim dkk, 2000).
Roger dan David Johnson dalam Lie (2002) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bias dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran kooperatif, ada lima unsur model pembelajaran gotong royong yang harus diterapkan, yaitu sebagi berikut:
a.Saling Ketergantungan Positif
Keberhasilan sebuah kelompok sanagt tergantung pada usaha setiap anggotanya. Dalam pembelajaran kooperatif, nilai kelompok diperoleh dari “sumbangan” setiap anggota. Siswa yang kurang mampu tidak akan merasa mider terhadap rekan-rekan mereka karena mereka juga memberikan sumbangan. Sebaliknya, siswa yang lebih pandai juga tidak akan merasa dirugikan karena rekannya yang kurang mampu juga telah memberikan bagian sumbangan mereka.
b.Tanggung Jawab Perseorangan
Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, seorang pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap angota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bias mencapai tujuan mereka. Setiap angota kelompok, mau tidak mau harus merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya agar yang lain bias berhasil.
c.Tatap Muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi, saling mengenal dan menerima satu sama lain, sehingga mereka bias menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing.
d.Komunikasi Antar Anggota
Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Tidak setiap peserta didik mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara, sehingga ada kalanya perlu diberitahu secara eksplisit mengenai cara-cara berkomunikasi secara efektif. Ini butuh proses yang cukup panjang, namun sangat bermanfaat untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
e.Evaluasi Proses Kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Meskipun dalam pembelajaran kooperatif siswa diharapkan lebih aktif, namun peranan guru harus tetap ada. Peranan guru dalam pembelajaran kooperatif antara lain: mengorganisasikan materi pelajaran, menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan peserta didik, mengorganisasikan peserta didik, menjelaskan tugas-tugas yang harus dikerjakan peserta didik, memberikan petunjuk, serta memotivasi peserta didik tentang pentingnya kerja sama dalam kelompok kerja (Nurhayati dan Wellang, 2004).
Secara umum, langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pembelajaran kooperatif dapat dilihat pada table berikut.
Fase dan Tingkah Laku Guru
Fase – 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Fase – 2
Menyajikan informasi
Fase – 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Fase – 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Fase – 5
Evaluasi
Fase – 6
Memberikan Penghargaan Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar agar melakukan ransisi secara efisien.
Guru membiming kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasekan hasil kerjanya.
Guru mencari cara-cara untuk menghargai, baik upaya maupun hasil belajar individu maupun kelompok.
Menurut Roestiyah (2001), keuntungan dari model pembelajaran kooperatif antara lain sebagi berikut:
a.Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah.
b.Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk lebih intensif mengadakan penyelidikan mengenai suatu kasus atau masalah.
c.Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan berdiskusi.
d.Dapat memungkinkan guru untuk lebih memperhatikan siswa sebagai individu seta kebutuhannya belajar
e.Para siswa lebih aktif tergabung dalam pelajaran mereka, dan lebih ktif berpartisipasi dalam diskusi.
f.Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengembangkan rasa menghargai dan menghormati pribadi temannya serta mengargai pendapat orang lain, dimana mereka saling membantu dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
PENUTUP
A.Kesimpulan
1.Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
2.SETS (Science Environment Technology and Society) merupakan satu kesatuan yang dalam konsep pendidikan mempunyai implementasi agar anak didik mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking).
3.Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama.
4.Pendekatan kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengacu pada metode pembelajaran di mana peserta didik bekerja bersama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar untuk memecahkan berbagai masalah-masalah terkait dengan materi yang dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo Freire. 2000. LP3S. Pendidikan pembebasan. Jakarta.
Gorski, Paul. 2008. www. Edchange.org/multicultural. Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking. Diaakses tanggal 25 September 2008.
Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual. Universitas Negeri Malang. Malang.
Nurhayati dan Wellang. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Makassar. Makassar.
Suparno Paul. 2003. Pendidikan Multikultural. Harian Kompas 7 Januari 2003
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional, Grasindo. Jakarta.
Mahfud Choerul. 2006. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
A.Latar Belakang
Perubahan dan perkembangan aspek kehidupan perlu ditunjang oleh kinerja pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan yang berkualitas sanat diperlukan untuk mendukung terciptanya manusia yang cerdas serta mampu bersaing di era globalisasi. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar dalam membentuk karakter, perkembangan ilmu dan mental seorang anak, yang nantinya akan tumbuh menjadi seorang manusia dewasa yang akan berinteraksi dan melakukan banyak hal terhadap lingkungannya, baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial.
Mengacu kepada Sistem Pendidikan Nasional (undang-undang No. 20 Tahun 2003), dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Sanjaya, 2006).
Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan dimasa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta ddik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya. Secara total, pendidikan merupakan suatu system yang memiliki kegiatan cukup kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitam satu sama lain. Jika menginginkan pendidikan terlaksana secara teratur, berbagai elemen (komponen) yang terlibat dalam kegiatan pendidikan perlu dikenali. Pendidikan dapat dilihat dari huungan elemen peserta didik (siswa), pendidik (guru), dan interaksi keduanya dalam usaha pendidikan.
David W. Jonhson dan Rogert T. Johnson dalam Sahabuddn (1999) mengemukakan bahwa keefektivan belajar adalah implementasi yang berhasil dari komponen-komponen pengajaran. Oleh krena itu, di dalam proses belajar mengajar, guru harus memiliki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien serta mengena pada tujuan yang diharapkan. Strategi tersebut dapat diterapkan melalui berbagai pendekatan dalam proses pembelajaran yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan kedaan peserta didik.
B.Rumusan Masalah
1.Bagaimanakah Pendekatan Pembelajaran Kontekstual?
2.Bagaimanakah Pendekatan Pembelajaran Science Environment Technology Society (SETS)?
3.Bagaimanakah Pendekatan Pembelajaran Multikultural?
4.Bagaimanakah Pendekatan Pembelajaran Kooperatif?
PEMBAHASAN
A.Pendekatan Pembelajaran Kontekstual.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai masyarakat (Nurhadi, 2004:13).
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruktivisme berkembang. Dasarnya, pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya.
Melalui landasan filosofi konstruktivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’, bukan ‘menghafal’.
Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna.
1.Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Dalam bagian berikut akan disampaikan beberapa karakteristik pembelajaran kontekstual yang dikemukakan beberapa ahli. Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual, seperti dalam rincian berikut:
a.Melakukan hubungan yang bermakna (making meanigful connections).
Siswa dapat mengatur diri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
b.Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work).
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
c.Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning).
Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan, ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produk/hasilnya yang sifatnya nyata.
d.Bekerja sama (collaborating).
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
e.Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking).
Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif, dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
f.Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual).
Siswa memelihara pribadinya, mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
g.Mencapai standar yang tinggi (reaching high standars).
Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi, mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
h.Menggunakan penilaian autentik (using authentic assesment).
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
2.Fokus Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan itu maka pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut:
a.Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu pendekatan pengajaran yag menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain.
b.Pegajaran autentik (authentic instruction), yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata.
c.Belajar berbasis inquiri (inquiry based learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
d.Belajar berbasis proyek/tugas (project based learning) yang membutuhkkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk (membentuk) pembelajarannya, dan mengkulminasikannya dalam produk nyata.
e.Belajar berbasis kerja (work based learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa.
f.Belajar berbasis jasa layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengn suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut, jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan lainnya.
g.Belajar kooperatif (cooperative learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.
3.Prinsip Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, untuk menerapkan pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran berikut ini:
a.Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (developmentally appropriate) siswa.
b.Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent learning groups).
c.Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learning).
d.Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of students).
e.Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelligences).
f.Menggunakan teknik-teknik bertanya (questioning).
g.Menerapkan penilaian autentik (authentic assesment).
4.Peran Guru dalam Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Agar proses pengajaran kontekstual lebih efektif, guru perlu melaksanakan beberapa hal sebagai berikut:
a.Mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari oleh siswa.
b.Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
c.Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep dan kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual.
d.Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang di[pelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka.
e.Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya.
f.Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian teresbut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya.
5.Penerapan Pembelajaran Kontekstual di Kelas
Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas. Ketujuh koponen utama itu adalah konstruktivisme, bertanya, inquiry, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. Dan, untuk melaksanakan hal itu tidak sulit. Pembalajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Gambaran sederhana penerapan ketujuh komponen pembelajaran kontekstual di kelas sebagai berikut:
a.Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya!Komponen Konstruktivisme sebagai filosofi.
b.Laksanakan kegiatan inquiry untuk mencapai kompetensi yang diinginkan di semua bidang studi! Komponen inquiry sebagai strategi belajar.
c.Bertanya sebagai alat belajar: kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya! Komponen bertanya sebagai keahlian dasar yang dikembangkan.
d.Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok)! Komponen masyarakat belajar sebagai penciptaan lingkungan belajar.
e.Tunjukkan model sebagai contoh pembelajaran! (benda-benda, guru, siswa lain, karya inovasi, dll). Komponen pemodelan, model sebagai acuan pencapaian kompetensi.
f.Lakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu!Komponen refleksi sebagai langkah akhir dari belajar.
g.Lakukan penilaian yang sebenarnya: dari berbagai sumber dan dengan berbagai cara! Komponen penilaian yang sebenarnya.
B.Pendekatan Pembelajaran Science Environment Technology Society (SETS).
Kata SETS (Science Environment Technology and Society) dapat dimaknakan sebagai sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat, merupakan satu kesatuan yang dalam konsep pendidikan mempunyai implementasi agar anak didik mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Pendidikan SETS dapat diawali dengan konsep-konsep yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar kehidupan sehari-hari peserta didik atau konsep-konsep rumit sains maupun non sains.
Sejarah membuktikan bahwa kehidupan di masa lalu beserta pendidikan generasi mudanya sama sekali tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Setiap produk yang dihasilkan baik teknologi maupun sumber daya manusianya berlomba-lomba untuk mengeksplorasi kekayaan bumi tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan di masa yang akan datang. Setelah berbagai masalah dalam kehidupan yang disebabkan oleh kerusakan bumi begitu menggejala, barulah sebagian negara, beberapa lembaga swadaya masyarakat dan aktivis pecinta lingkungan hidup bersuara.
Sejak itulah dalam dunia pendidikan mulai diintegrasikan pendidikan berwawasan lingkungan, misalnya Pendidikan bervisi STS (Science Technology Society) berarti pendidikan bervisi Sains Teknologi dan Masyarakat, Pendidikan bervisi EE (Environmental Education) berarti pendidikan lingkungan hidup, pendidikan STL (Sciencetific and Technological Literacy) artinya pendidikan berwawasan Sains dan merujuk Teknologi. Beberapa waktu berlalu belum menampakkan hasil optimal dari pengintegrasian visi-visi tersebut dalam pendidikan. Untuk itulah perlu dikembangkan pendidikan bervisi SETS sebagai satu kesatuan Sains, Lingkungan, Teknologi dan Masyarakat yang tidak boleh dipisahkan.
1.Hakekat Pembelajaran Science Environment Technology Society
Hakekat SETS dalam pendidikan merefleksikan bagaimana harus melakukan dan apa saja yang bisa dijangkau oleh pendidikan SETS. Pendidikan SETS harus mampu membuat peserta didik yang mempelajarinya baik siswa maupun warga masyarakat benar-benar mengerti hubungan tiap-tiap elemen dalam SETS. Hubungan yang tidak terpisahkan antara sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat merupakan hubungan timbal balik dua arah yang dapat dikaji manfaat-manfaat maupun kerugian-kerugian yang dihasilkan. Pada akhirnya peserta didik mampu menjawab dan mengatasi setiap problem yang berkaitan dengan kekayaan bumi maupun isu-isu sosial serta isu-isu global, hingga pada akhirnya bermuara menyelamatkan bumi.
Keberhasilan Pendidikan SETS dengan kedalaman yang memadai sangat relevan untuk memecahkan problem yang melanda kehidupan sehari-hari. Misalnya masalah pencemaran, pengangguran, bencana alam, kerusuhan sosial dan lain-lainnya. Isu-isu tersebut dapat dibawa ke dalam kelas dan dikaji melalui pendidikan SETS untuk dicarikan pemecahannya, paling tidak pencegahannya.
Pendidikan SETS pada hakekatnya akan membimbing peserta didik untuk berpikir global dan bertindak lokal maupun global dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari. Masalah-masalah yang berada di masyarakat dibawa ke dalam kelas untuk dicari pemecahannya menggunakan pendidikan SETS secara terpadu dalam hubungan timbal balik antar elemen-elemen sains, lingkungan, teknologi, masyarakat.
Peserta didik dilatih agar mampu berpikir secara global dalam memecahkan masalah lokal, nasional maupun internasional sesuai dengan kadar kemampuan berpikir dan bernalarnya. Peserta didik dibimbing untuk memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah di masyarakat dan berperan aktif untuk turut mencari pemecahannya.
Pendidikan SETS ini dapat mengatasi kelemahan sistem pendidikan klasik dimana peserta didik diajak melaju untuk menyelesaikan materi pelajaran, tanpa diketahui dengan jelas implementasi peserta didik terhadap daya serap materi pelajaran (Apakah materi pelajaran dapat dikuasai keseluruhan atau sebagian, dan kompetensi dasar apa yang sudah dicapai). Sehingga Pendidikan SETS dapat mengantisipasi beberapa hal pokok dalam membekali peserta didik, diantaranya :
a.Menghindari ‘materi oriented’ dalam pendidikan tanpa tahu masalah-masalah di masyarakat secara lokal, nasional, maupun internasional.
b.Mempunyai bekal yang cukup bagi peserta didik untuk menyongsong era globalisasi (AFTA–2003, AFAS–2003, WTO–2010).
c.Peserta didik mampu menjawab dan mengatasi setiap masalah yang berkaitan dengan kelestarian bumi, isu-isu sosial, isu-isu global, misalnya masalah pencemaran, pengangguran, kerusuhan sosial, dampak hasil teknologi dan lain-lainnya hingga pada akhirnya bermuara menyelamatkan bumi.
d.Membekali peserta didik dengan kemampuan memecahkan masalah-masalah dengan penalaran sains, lingkungan, teknologi, sosial secara integral, baik di dalam maupun di luar kelas.
Pendidikan SETS mencakup topik maupun konsep yang berhubungan dengan sains, teknologi, lingkungan dan berbagai hal yang diperkirakan melanda masyarakat. Obyek-obyek pendidikan yang dipelajari pada akhirnya diharapkan dimengerti dengan baik korelasinya dengan keempat elemen utama SETS.
Pendidikan SETS bukan pendidikan di angan-angan atau di atas kertas saja, melainkan pendidikan SETS benar-benar membahas sesuatu yang nyata / riil, bisa dipahami, dapat dilihat dan dibahas dan bisa dipecahkan jalan keluarnya. Kurang pada tempatnya jika pembahasan SETS hanya sebatas elemen per elemen yang terpisah satu sama lain. Apabila hal itu dilakukan sama artinya dengan memfokuskan pada salah satu unsur dari SETS.
Keempat unsur pada Pendidikan SETS saling berinteraksi dalam membahas suatu konsep pendidikan baik sins maupun non sains. Untuk memenuhi kepentingan peserta didik perlu diciptakan suatu program yang sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik maupun warga masyarakat. Para guru diharapkan lebih berhati-hati dalam pengajarannya jika memasukkan konsep atau topik yang akan dibahas dengan teknik Pendidikan SETS. Topik tersebut harus aktual dan sesuai dengan subyek yang sedang dipelajari dan tentunya tidak bertentangan dengan kurikulum yang dibakukan. Satu hal yang paling penting, Pendidikan SETS harus dapat membawa setiap peserta didik berperan serta dalam kegiatan pembelajaran.
2. Tujuan Pendekatan Science Environment Technology Society
Tujuan Pendidikan SETS adalah untuk membantu peserta didik mengetahui sains, perkembangan sains, teknologi-teknologi yang digunakannya, dan bagaimana perkembangan sains serta teknologi mempengaruhi lingkungan serta masyarakat. Pendidikan SETS berupaya memberikan pemahaman tentang peranan lingkungan terhadap sains, teknologi, masyarakat. Sebaliknya peranan masyarakat terhadap arah perkembangan sains, teknologi dan keadaan lingkungan. Termasuk juga peranan teknologi dalam penyesuaiannya dengan sains, manfaatnya terhadap masyarakat dan dampak-dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Tidak ketinggalan peranan sains untuk melahirkan konsep-konsep yang berdaya guna positif, keterlibatannya pada teknologi yang dipakai maupun pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan secara timbal balik.
Jadi tujuan utama Pendidikan SETS ialah bagaimana membuat agar SETS dapat menolong manusia membuat surga dunia di muka bumi ini, bukan sebaliknya menciptakan neraka dunia dalam segala aspek kehidupan. SETS sesungguhnya harus mampu menolong setiap negara di dunia untuk mewujudkan kemakmuran bagi semua warga negaranya.
Dalam memberikan pengantar Pendidikan SETS kepada peserta didik, setiap guru harus dapat menciptakan variasi pendekatan atau konsep pembelajaran yang disesuaikan tingkat kemampuan maupun obyektivitas dari pendidikan SETS itu sendiri. Perlu diingat bahwa tidak tertutup kemungkinan seorang siswa memiliki peluang lebih besar untuk mengalami sesuatu topik masalah secara lebih nyata dibanding dengan gurunya. Apabila hal itu terjadi, para guru hendaknya tidak merasa berkecil hati, justru merasa lebih tertantang dengan kondisi yang ada untuk belajar lebih keras dan mencoba mendahului kemampuan muridnya dengan tujuan positif. Jangan sampai terjadi karena muridnya diketahui lebih cepat dapat mengakses pengetahuan yang ada, seorang guru menjadi tidak suka atau antipati kepada muridnya. Segi baik lainnya adalah setiap murid secara perorangan dapat mengoptimalkan pengetahuan yang dimilikinya untuk bekerja sama dengan temannya dalam proses Pendidikan SETS. Hal ini mengandung arti murid yang bersangkutan telah belajar bagaimana bersosial masyarakat.
3.Pelaksanaan Pendekatan Science Environment Technology Society
Berkenaan dengan strategi pelaksanaan pendekatan STM, Anna Poedjiadi (1995: 4) mengemukakan hal sebagai berikut:
Pelaksanaan pendekatan STM dapat dilakukan melalui tiga macam strategi yaitu strategi pertama, menyusun topik-topik tertentu yang menyangkut konsep-konsep yang ingin ditanamkan pada peserta didik. Pada awal perubahan tiap topik, guru memperkenalkan atau menunjukkan kepada peserta didik adanya isu atau masalah dilingkungan peserta didik atu menunjukkan aplikasi sains atau suatu produk teknologi yang ada dilingkungan mereka. Masalah atau isu yang ada dilingkungan masyarakat dapat pula diusahakan agar ditemukan oleh peserta didik sendiri setelah guru membimbing dengan cara-cara tertentu. Melalui kegiatan eksperimen atau diskusi kelompok yang dirancang oleh guru akhirnya dibangun atau dikonstruktur pengetahuan pada peserta didik, dalam hal ini pengetahuan yang berbentuk konsep-konsep . Strategi ini mirip dengan stategi pendidikan IPA terpadu. Perbedaannya ialah bahwa pada program STM, isu atau masalah harus diangkat pada awal pembahasan topik yang diajarkan, sedangkan dalam IPA terpadu tidak mutlak harus dilaksanakan demikian.
Strategi kedua, menyajikan suatu topik yang relevan dengan konsep-konsep tertentu yang termasuk dalam GBPP. Pada saat membahas konsep-konsep tertentu suatu topik yang relevan telah dirancang sesuai strategi pertama dapat diterapakan dalam pembelajaran. Dengan demikian program STM merupakan suplemen dari kurikulum.
Strategi ketiga, mengajak peserta didik untuk berpikir dan menemukan aplikasi konsep sains dalam industri atau produk teknologi yang ada di masyarakat di sela-sela kegiatan belajar berlangsung, contoh-contoh adanya aplikasi konsep sains, isu atau masalah sebaiknya diperkenalkan pada awal pokok bahasan tertentu untuk meningkatkan motivasi peserta didik mempelajari konsep-konsep selanjutnya atau mengarahkan perhatian peserta didik kepada materi yang akan dibahas sebagai apersepsi.
Ada beberapa hal yang dipandang menjadi kelebihan dari pendekatan integratif (SETS) dibanding menggunakan pendekatan lain, antara lain: Bisa meningkatkan motivasi belajar siswa; bisa meningkatkan prestasi hasil belaj ar siswa; bisa meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar biologi; pendekatan integratif pada pembelajaran biologi diharapkan bisa melatih siswa dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan multidisiplin ilmu dan interdisi¬pliner, sehingga pemahaman siswa terhadap sesuatu masalah lebih bersifat kompreheinsif. Dengan pendekatan integratif siswa akan dilatih bekerjasama dengan ang¬gota kelompok dalam memecah¬kan permasalahan.
C.Pendekatan Pembelajaran Multikultural.
Multikultural dalam pengertian Teminologi, yaitu “multi” yang berarti jamak atau plural, “kultural” berisi pengertian kultur atau budaya, sedangkan menurut Istilah : Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multikultural” Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multikultural dan multi-lingual” sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan” (Gorski dan Paul, 2008).
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (2000), pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki empat dimensi yang saling berkaitan:
•Content integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
•The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
•An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
•Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;
a.Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
b.Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
c.Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
d.Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Menurut Tilaar (2002), pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiference” dan “Non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis.
Pendidikan multikulturalisme menurut Tilaar (2004), biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2.Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural).
3.Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4.Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi (Mahfud Choerul, 2006).
Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis,budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut.
Satu, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Dua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Tiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Empat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia (Tilaar, 2004)
Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.
Agar pendidikan lebih multikultural, maka kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan peran guru harus dibuat multikultural. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain. Suasana sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
Kegiatan ekstrakurikuler hendaknya juga multinilai. Sikap menghargai orang yang berbeda dari budaya lain akan lebih berkembang bila siswa mempraktikkan dan mengalami sendiri. Maka, model live-in, tinggal di tengah orang yang berbudaya lain, amat dapat membantu siswa menghargai "budaya lain". Misalnya siswa dari Bali ikut live-in satu minggu di tengah orang Sunda. Bila mereka mengalami bahwa di situ diterima dengan baik, mereka akan dibantu lebih penghargai budaya Sunda. Proyek dan kepanitiaan di sekolah baik juga diatur dengan lebih variasi dan beragam. Setiap panitia terdiri dari aneka macam siswa dari berbagai suku, ras, agama, budaya, dan jender. Ini akan lebih menumbuhkan semangat kesatuan dalam perbedaan yang ada.
Diskusi dan debat tentang persoalan konflik di masyarakat yang diakibatkan perbedaan budaya dapat membantu siswa kian mengerti makna perbedaan. Maka, penting siswa tidak diasingkan dari persoalan masyarakat. Mereka diajak kritis mengamati apa yang terjadi di masyarakat terlebih dalam kaitan penghargaan terhadap nilai orang lain. Siswa diberi kesempatan mendalami persoalan masyarakat multibudaya. Aneka gagasan coba diterima dan dibuka, sehingga anak sadar akan keanekaan itu.
Belajar bahasa suku lain, amat berguna. Indonesia terdiri dari banyak pulau dan suku dengan bahasa yang berbeda. Negara kita mempunyai satu bahasa nasional, Indonesia. Dan, ini baik untuk alat komunikasi antarwarga Indonesia. Namun, yang kiranya tidak boleh ditinggalkan adalah bahwa kita akan lebih dibantu menghargai orang dan budaya lain, bila kita dapat mengerti bahasa mereka. Lewat bahasanya, terutama dapat menggunakannya, orang akan mudah mengerti makna terdalam budaya orang lain. Maka, semakin mengenal bahasa suku lain, akan semakin mendorong kita untuk mengerti mereka lebih dalam dan menerima serta menghargai. Kiranya usaha menghargai budaya lain dapat juga secara edukatif menekankan pentingnya belajar bahasa suku-suku lain. Bila dorongan ini sejak awal ditekankan pada siswa, maka akan membantu mereka lebih mengerti orang dari suku lain.
Peran guru dalam pendidikan multikultur juga amat penting. Guru harus mengatur dan mengorganisir isi, proses, situasi, dan kegiatan sekolah secara multikultur, di mana tiap siswa dari berbagai suku, jender, ras, berkesempatan untuk mengembangkan dirinya dan saling menghargai perbedaan itu. Guru perlu menekankan diversity dalam pembelajaran, antara lain dengan 1) mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa; dan 2) mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Dalam pengelompokan siswa di kelas mapun dalam kegiatan di luar kelas guru diharapkan memang melakukan keanekaan itu.
D.Pendekatan Pembelajaran Kooperatif.
Pada abad ke-21 ini, paradigma pendidikan mulai bergeser dari paradigma behavoristik ke paradigma konstruktivistik. Paradigma behavioristik berasumsi bahwa pengetahuan dapat “dipindahkan” dari pikiran guru ke pikiran peserta didik. Sehingga pembelajaran dengan filosofi konstruktivisme diharapkan dapat memecahkan masalah ini.
Salah satu metode pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan prinsip konstruktivistik adalah model pembelajaran yang kini popular dengan istilah pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran ini mengacu pada metode pembelajaran di mana peserta didik bekerja bersama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar untuk memecahkan berbagai masalah-masalah terkait dengan materi yang dipelajari (Nurhayati dan Wellang, 2004).
Model pembelajaran kooperatif sangat tepat diterapkan dalam pembelajaran Biologi. Materi-materi dalam mata pelajaran Biologi sebagian besar adalah teori. Sehingga apabila diajarkan hanya dengan materi ceramah, maka siswa akan belajar secara monoton. Menerima pelajaran dari guru, mendengarkan penjelasan guru, mencatat, dan seterusnya sehingga siswa cenderung bersikap pasif. Hal inilah yan tidak disetujui oleh beberapa pakar pendidikan.
Jeromes Brunner, seorang ahli psikologi Amarika Serikat menekankan betapa pentingnya keterlibatan anak di dalam belajar mereka sendiri. Brunner menyatakan bahwa anak harus dipandang bukan sebagi objek tetapi sbegai subjek, bukan sebagi penonton tetapi sebagi peserta. Pendapat Brunner didukung oleh pendapat Carl Roger yang menyatakan bahwa kualitas hubungan antara guru dan anak-anak beserta lingkungan kelas merupakan ramuan-ramuan yang menentukan dalam pendidikan. Siswa harus melakukan usaha sendiri untuk memperoleh pengetahuan.
Pembelajaran kooperatif menempatkan peserta didik pada kelompok-kelompok kerja dan tinggal bersama sebagai satu kelompok. Mereka dilatih keterampilan-keterampilan spesifik untuk membantu mereka bekerja sama dengan baik. Misalnya menjadi pendengr yang baik, mengajukan pertanyaan dengan benar, menjawab pertanyaan dengan benar, dan sebagainya ( Nurhayati dan Wellang, 2004).
Pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur tugas, tujuan, dan penghargaan kooperatif. Siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong dan dikehendaki untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas. Dalam penerapan pembelajaran kooperatif, dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai satu penghargaan bersama. Mereka akan berbagi penghargaan tersebut jika mereka berhasil sebagai kelompok (Ibrahim dkk, 2000).
Roger dan David Johnson dalam Lie (2002) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bias dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran kooperatif, ada lima unsur model pembelajaran gotong royong yang harus diterapkan, yaitu sebagi berikut:
a.Saling Ketergantungan Positif
Keberhasilan sebuah kelompok sanagt tergantung pada usaha setiap anggotanya. Dalam pembelajaran kooperatif, nilai kelompok diperoleh dari “sumbangan” setiap anggota. Siswa yang kurang mampu tidak akan merasa mider terhadap rekan-rekan mereka karena mereka juga memberikan sumbangan. Sebaliknya, siswa yang lebih pandai juga tidak akan merasa dirugikan karena rekannya yang kurang mampu juga telah memberikan bagian sumbangan mereka.
b.Tanggung Jawab Perseorangan
Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, seorang pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap angota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bias mencapai tujuan mereka. Setiap angota kelompok, mau tidak mau harus merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya agar yang lain bias berhasil.
c.Tatap Muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi, saling mengenal dan menerima satu sama lain, sehingga mereka bias menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing.
d.Komunikasi Antar Anggota
Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Tidak setiap peserta didik mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara, sehingga ada kalanya perlu diberitahu secara eksplisit mengenai cara-cara berkomunikasi secara efektif. Ini butuh proses yang cukup panjang, namun sangat bermanfaat untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
e.Evaluasi Proses Kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Meskipun dalam pembelajaran kooperatif siswa diharapkan lebih aktif, namun peranan guru harus tetap ada. Peranan guru dalam pembelajaran kooperatif antara lain: mengorganisasikan materi pelajaran, menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan peserta didik, mengorganisasikan peserta didik, menjelaskan tugas-tugas yang harus dikerjakan peserta didik, memberikan petunjuk, serta memotivasi peserta didik tentang pentingnya kerja sama dalam kelompok kerja (Nurhayati dan Wellang, 2004).
Secara umum, langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pembelajaran kooperatif dapat dilihat pada table berikut.
Fase dan Tingkah Laku Guru
Fase – 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Fase – 2
Menyajikan informasi
Fase – 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Fase – 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Fase – 5
Evaluasi
Fase – 6
Memberikan Penghargaan Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar agar melakukan ransisi secara efisien.
Guru membiming kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasekan hasil kerjanya.
Guru mencari cara-cara untuk menghargai, baik upaya maupun hasil belajar individu maupun kelompok.
Menurut Roestiyah (2001), keuntungan dari model pembelajaran kooperatif antara lain sebagi berikut:
a.Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah.
b.Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk lebih intensif mengadakan penyelidikan mengenai suatu kasus atau masalah.
c.Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan berdiskusi.
d.Dapat memungkinkan guru untuk lebih memperhatikan siswa sebagai individu seta kebutuhannya belajar
e.Para siswa lebih aktif tergabung dalam pelajaran mereka, dan lebih ktif berpartisipasi dalam diskusi.
f.Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengembangkan rasa menghargai dan menghormati pribadi temannya serta mengargai pendapat orang lain, dimana mereka saling membantu dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
PENUTUP
A.Kesimpulan
1.Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
2.SETS (Science Environment Technology and Society) merupakan satu kesatuan yang dalam konsep pendidikan mempunyai implementasi agar anak didik mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking).
3.Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama.
4.Pendekatan kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengacu pada metode pembelajaran di mana peserta didik bekerja bersama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar untuk memecahkan berbagai masalah-masalah terkait dengan materi yang dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo Freire. 2000. LP3S. Pendidikan pembebasan. Jakarta.
Gorski, Paul. 2008. www. Edchange.org/multicultural. Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking. Diaakses tanggal 25 September 2008.
Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual. Universitas Negeri Malang. Malang.
Nurhayati dan Wellang. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Makassar. Makassar.
Suparno Paul. 2003. Pendidikan Multikultural. Harian Kompas 7 Januari 2003
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional, Grasindo. Jakarta.
Mahfud Choerul. 2006. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar