Sabtu, 23 Mei 2009

LANDASAN FILOSOFI BELAJAR HUMANISME dalam PERSPEKTIF PROSES BELAJAR MENGAJAR

Oleh
Abdu Mas’ud

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apakah yang dimaksud dengan paham humanisme? secara sederhana paham humanis dapat diartikan sebagai suatu sikap yang konsisten dalam membela kelangsungan dan keberadaan hidup manusia agar manusia tidak tenggelam dalam kehancuran atau kebinasaan. Beberapa contoh sikap humanis dalam kehidupan antara lain: (1) memberi makan orang yang kelaparan merupakan suatu sikap yang humanis karena dengan mengkonsumsi makanan manusia memperoleh energi yang berguna untuk beraktifitas. (2) mengobati orang yang terkena penyakit merupakan perbuatan humanis karena dengan kesembuhan dari penyakit manusia bisa kembali berkerja menghidupi dirinya. (3) memberi dan membangunkan tempat tinggal bagi mereka yang tuna wisma merupakan sikap yang humanis karena rumah dapat digunakan untuk melindungi manusia dari hawa dingin dan curah hujan serta perlindungan yang lainnya.

Humanisme dalam memandang obyek (manusia) tidak membedakan manusia sebagai suatu makhluk yang terkotak-kotakkan. Humanisme tidak memandang bangsa, agama, daerah, suku, warna kulit dan sejenisnya. Ia memperlakukan dan berusaha membantu siapa pun itu manusianya. Tidak memandang ia baik atau jahat, kawan atau musuh.

Sementara itu disisi lain PENDIDIKAN HUMANISTIK, dipandang merupakan pendidikan dan pembelajaran di sekolah selama ini dinilai kurang demokratis. Kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri menunjukkan hal itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih kompetitif (Kompas, 2 Desember 2004).

Kritik dan keprihatinan tersebut sangat beralasan. Realitas proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis mereka. Peserta didik masih saja menjadi obyek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi. Setiap hari indoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi terhadap anak-anak. Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Berpuluh-puluh tahun anak-anak kita dihadapkan pada hafalan kering tanpa adanya kesempatan untuk mengembangkan daya eksplorasi dan kreativitas.

Prof. Dr. Armai Arief, MA.(Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta) menyatakan bahwa hampir tidak kita sadari bersama saat ini, trend pendidikan yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini adalah belajar untuk belajar. Bukan lagi belajar untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi yang jauh makin komplek ke depan. Tak heran proses pembelajaran yang ada di sekolah dapat dinilai kurang demokratis-humanistik. Kurang adanya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi guna menunjukkan eksistensinya sendiri masing-masing. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal awal anak agar mampu menghadapi tantangan masa depan yang jauh lebih kompetitif.

Pendidikan sering kali kita harapkan sebagai “pabrik intelektual” yang dituntut agar mampu menelorkan pelaku-pelaku pembangunan yang tangguh dan handal. Akibatnya, pendidikan tidak lagi diarahkan kepada hal-hal penanaman potensi kemanusiaan lainnya. Terutama yang bermuara pada sisi emosial peserta didik. Padahal, inti dari sebuah pendidikan ialah agar menjadikan manusia-manusia yang cerdas, kreatif dan humanis. Untuk itu, harus dicarikan sebuah konsep pendidikan yang berangkat dan beroerientasi pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik dan realistik.

Menciptakan konsep pendidikan yang disebut dehumanisasi di negara kita tidaklah mudah membalikkan telapak tangan. Selain pendidikan kita yang tidak pernah jelas dan terarah sistem dan metodenya, apalagi jika kita melihat out put pendidikan itu sendiri yang faktanya sangat mengkhawatirkan. Belum lagi jika meneropong lebih jauh atas kasus-kasus tindak kriminal yang dilakukan oleh peserta didik. Tawuran antar pelajar, terjebak dalam lingkaran narkoba, miras dan berbagai tindakan amoral lainnya menjadi hal yang lumrah terjadi dalam keseharian kita..

Banyaknya persoalan yang menjadi beban pengelolaan pendidikan dan pengajaran di neggara kita. Mulai dari beban ajar yang terlalu banyak dan padat, sampai pada profesionalitas guru yang masih belum memadai dan penghargaan finansial terhadap para pendidik yang masih sangat rendah. Dalam bahasan ini masalah yang terkait erat adalah standar keberhasilan belajar yang masih menekankan bidang intelektual dan sekaligus sentralisasi standar mutu contohnya UNAS: Ujian Nasional, yang mengakibatkan masyarakat terjerumus pada keyakinan bahwa hasil UNAS adalah satu-satunya ukuran keberhasilan peserta didik dan juga sekolah sebagai lembaga pendidikan.

Hasil UNAS menentukan ranking mutu sekolah, tanpa memperhatikan banyak aspek lain yang mungkin diperoleh oleh peserta didik atau lembaga sekolah yang ada. Singkatnya sistem evaluasi dan UNAS yang diselenggarakan masih mengkerdilkan peserta didik sebagai pribadi manusia dan sekolah sebagai lembaga pendidikan, menjadi satu aspek saja yaitu kecerdasan yang diukur oleh UNAS (kasarnya soal pilihan ganda atau benar salah). Masalah pendidikan yang cukup penting untuk dibenahi adalah proses pembelajaran yang hanya menekankan pada aspek hafalan, ingatan, & ldquo;memorizing & idquo. Ini disebabkan beberapa faktor; guru mengajar hanya menggunakan metode ceramah melulu, bentuk soal yang hanya pilihan berganda, penanaman pengetahuan yang tidak sampai pada konsep/pengertian dan nilai, dan suasana kelas yang aktif-negatif (seperti misalnya aktif mendengarkan, aktif mencatat) namun tidak aktif-positif (seperti misalnya aktif bertanya, aktif berdiskusi, aktif melakukan percobaan, aktif & ldquo; mengalami & idquo; aktif merefleksikan). Oleh karena itu kalau pendidikan mau benar-benar membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan aspek-aspek dirinya, perlu dikembangkan pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek ingatan, hafalan, memorizing (berbasis materi), namun sampai pada aspek penalaran dan kemampuan menggunakan keterampilan secara baik serta sifat berpikir yang aktif positif. Pembelajaran dan pendidikan yang menjadikan peserta didik memiliki kompetensi tertentu.

Pada saat ini ( di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi), manusia cenderung makin bersikap individualis. Mereka asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik. Landasan filosofi pendidikan yang bertujuan mengembangkan dan mengharai aspek manusia adalah landasan dan teori belajar humanistime.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

  1. Apakah yang dimaksud dengan teori belajar humanisme?

  2. Bagaimanakah pemahaman BELAJAR menurut teori belajar humanisme?

  3. Bagaimana implikasi teori belajar humanisme dalam proses belajar mengajar?

C. Tujuan Penulisan

  1. Untuk mengetahui pengertian teori belajar humanisme

  2. Untuk mengetahui pandangan teori belajar humanisme terhadap BELAJAR

  3. Untuk mengetahui implikasi teori belajar humanisme dalam proses belajar mengajar

PEMBAHASAN

    1. Teori Belajar Humanisme

Menurut teori humanistime, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.Teori ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidikan ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan potensi yang ada pada dirinya.

Teori Humanistime dilihat dari adanya dua bagian pada proses belajar, yaitu :
1. Proses pemerolehan informasi

2. Personalisasi informasi ini pada individu

Tokoh penting dalam teori belajar humanistime secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers. Salah satu tokoh penting dari Teori Humanistik ini ialah “ Arthur W. Combs “ ( 1912-1999 ). Arthur bersama dengan Donald Snygg ( 1904-1967 ) mencurahkan perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti ) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai oleh muridnya. Misal, anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan berarti anak itu bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan mungkin mereka tidak ada alasan penting mereka agar harus mempelajari. Perilaku ini tidak lain karena dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.

Untuk itu, sebagai seorang guru harus bisa memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu, dengan kata lain individulah yang memberikan arti kepada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya. Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran ( besar dan kecil) yang bertitik pusat satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar. ( 2 ) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran huanisme adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu;

  1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak penting artinya.

  2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasian bahan dan ide baru sebagai bahan yang bermakna bagi siswa. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.

  3. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.

Dari bukunya Freedom To Learn, Rogers menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah;

    1. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.

    2. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.

    3. Belajar yang menyangkut perubahan didalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolakanya.

    4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar semain kecil.

    5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda maka terjadilah proses belajar. Belajar bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.

    6. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan bertanggungjawab dalam proses belajar itu.

    7. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek merupaan cara yang dapat memberi hasil yang mendalam dan lestari.

    8. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreatifitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupaan cara kedua yang penting.

    9. Belajar yang paling berguna secara sosial dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuan kedalam diri sendiri setelah mengenai proses perubahan itu.


Satu model pendidikan terbuka mencakup konsep pengajar guru yang fasilitas dan kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah;

      1. Merespon perasaan siswa.

      2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.

      3. Berdialog dan berdisusi dengan siswa.

      4. Menghargai siswa.

      5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.

      6. Menyesuaian isi kerangka berfiir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa).

    1. Belajar Menurut Humanisme

Teori belajar humanisme ini memandang bahwa perilaku manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh factor internal dirinya dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuan. Menurut teori belajar humanisme, aktualisasi diri merupakan puncak perkembangan individu. Ia mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya utuh, bermakna dan berfungsi, kebermaknaan perwujudan dirinya itu bahkan bukan saja dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Teori belajar humanisme ini yakin bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam individu. Bahkan aliran ini mengabaikan factor intelektual dan emosional. Menurutnya, kedua factor tersebut tidak terlibat di dalam proses belajar.

Menurut teori ini, proses belajar yang bermakna adalah belajar yang melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik. Belajar yang bermakna tidak lain adalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu.
Menurut teori humanisme, salah satu karasteristik yang harus ada pada guru / pendidik adalah memiliki kemampuan memotivasi belajar peserta didiknya.
Selain itu guru memiliki sikap empati, terbuka, keaslian, kekonkritan,dan kehangatan.
Sikap empati merujuk kepada sikap guru yang mamu memposisiskan dirinya pada kerangka berpikir peserta didik sehingga guru dapat merasakan apa yang peserta didik rasakan dan alami. Keterbukaan merujuk pada kemampuan guru untuk membuka diri, sikap dikritik, diberi masukan, siap dinilai, dan diberi ujian. Keaslian merujuk kepada pemampilan apa adanya dan tidak dibuat-buat. Kekonkretan merujuk pada kejelasan dalam menyatakan sesuatu.memberi tanggung jawab sesuai dengan kemampuan peserta didik dan realistis.
Kehangatan merujuk pada jalanan komunikasi yang secara psikologis terasa nyaman dan aman bagi peserta didik disertai ketulusan dalam memberikan pelayanan pendidikan.


C. Implikasi Teori Belajar Humanistik

Guru sebagai fasilitator Psikologi, paham humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator, berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas si fasilitator. Ini merupakan ikthisar yang sangat singkat dari beberapa petunjuk.

  1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas.

  2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan didalam kelas, dan juga tujuan-tujuan kelompok ang bersifat umum.

  3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang tersembunyi didalam belajar ang bermakna tadi.

  4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar ang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.

  5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.

  6. Didalam menaggapi ungkapan-ungkapan dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menaggapi dengan cara ang sesuai, baik bagi individu maupun kelompok.

  7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.

  8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaan dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.

  9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.

  10. Didalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasanna sendiri

Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun konatif. Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed learning). Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa “sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya”. Setiap pribadi manusia memiliki ldquo, (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.

Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang yang menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi & ldquo; dunia & idquo;, minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (the learners-centered teaching). Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif, peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian mem - ldquo; fungsi & idquo; -kan dirinya di dalam masyarakat secara optimal.

Tujuan sejati dari pendidikan adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanis serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai (income generating skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis.

Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N. Driyarkara). Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin & ldquo; penuh & idquo; sebagai manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.

Saat ini model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang demokratis, partisipatif, dan humanis: adanya suasana saling menghargai, adanya kebebasan berpendapat/berbicara, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup bersama dengan teman yang mempunyai pandangan berbeda. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran dan pendidikan seyogianya merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang sedari tingkat filosofis, strategi, pendekatan proses dan teknologi pembelajarannya menuju ke arah pembebasan anak didik dengan segala eksistensinya. Dengan demikian, menurut Azyumardi Azra yang diamini Conny C Semiawan (Kompas, 2/12/2004), baru anak didik bisa bebas mewujudkan keseluruhan potensi dirinya.

Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Seperti misalnya kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternatif dan prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subyek (dan juga obyek) pendidikan dan bukannya obyek semata-mata.

Pembudayaan nilai kreativitas, otonomi/kemandirian, dan relevansi pendidikan merupakan kunci rekulturasi. UNESCO merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan pembelajaran yang amat menunjang proses ini, pada lima konsep pokok paradigma pembelajaran dan pendidikan, yaitu:

  1. Learning to know: guru hendaknya mampu menjadi fasilitator bagi peserta didiknya. Information supplier (ceramah, putar pita kaset) sudah tidak jamannya lagi. Peserta didik dimotivasi sehingga timbul kebutuhan dari dirinya sendiri untuk memperoleh informasi, keterampilan hidup (income generating skills), dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya.

  2. Learning to do: peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah pengetahuan, perasaan dan penghendakan. Peserta didik dilatih untuk aktif-positif daripada aktif-negatif. Pengajaran yang hanya menekankan aspek intelektual saja sudah usang.

  3. Learning to live together: ini adalah tanggapan nyata terhadap arus deras spesialisme dan individualisme. Nilai baru seperti kompetisi, efisiensi, keefektifan, kecepatan, telah diterapkan secara keliru dalam dunia pendidikan. Sebagai misal, sebenarnya kompetisi hanya akan bersifat adil kalau berada dalam paying kooperatif dan didasarkan pada kesamaan kemampuan, kesempatan, lingkup, sarana, tanpa itu semua hanyalah merupakan kompetisi yang akan mengakibatkan yang “kalah” akan selalu “kalah”. Sekolah sebagai suatu masyarakat mini seharusnya mengajarkan “cooperatif learning”, kerjasama dan bersama-sama, dan bukannya pertandingan intelektualistik semata-mata, yang hanya akan menjadikan manusia pandai tetapi termakan oleh kepandaiannya sendiri dan juga membodohi orang lain. Sekolah menjadi suatu paguyuban penuh kekeluargaan dan mengembangkan daya cipta, rasa dan karsa, atau aspek-aspek kemanusiaan manusia.

  4. Learning to be: dihayati dan dikembangkan untuk memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Setiap peserta didik memiliki harga diri berdasarkan diri yang senyatanya. Peserta didik dikondisikan dalam suasana yang dipercaya, dihargai, dan dihormati sebagai pribadi yang unik, merdeka, berkemampuan, adanya kebebasan untuk mengekspresikan diri, sehingga terus menerus dapat menemukan jati dirinya. Subyek didik diberikan suasana dan sistem yang kondusif untuk menjadi dirinya sendiri.

  5. Learning throughout life yaitu bahwa pembelajaran tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Pembelajaran dan pendidikan berlangsung seumur hidup. Pelaku pendidikan formal hendaknya berorientasi pada proses dan bukan pada hasil atau produk semata.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Teori belajar humanisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Tujuan utama para pendidikan ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan potensi yang ada pada dirinya.

2. Belajar menurut paham Humanisme adalah proses belajar yang bermakna adalah belajar yang melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik. Belajar yang bermakna tidak lain adalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu

3. Implikasi pembelajaran humnisme adala adanya sistem pendidikan yang hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain. Seperti misalnya kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternatif dan prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subyek (dan juga obyek) pendidikan dan bukannya obyek semata-mata.

B. Saran

Perlu diusahakan pembaharuan yang menyeluruh dalam institusi pendidikan.

  1. Pertama adalah usaha restrukturisasi yaitu proses pelembagaan keyakinan, nilai dan norma baru tentang fungsi dasar, proses dan struktur suatu lembaga untuk menjamin kepastian, keadilan, dan pemanfaatan usaha pendidikan itu sendiri. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah sangat mendukung usaha restrukturisasi ini, asal dilaksanakan dengan baik dan tepat. Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu bentuk dari restrukturisasi.

  2. Kedua adalah rekulturisasi: yaitu proses pembudayaan perilaku seseorang atau kelompok atas keyakinan, nilai dan norma baru yang diharapkan. Nilai baru seperti kompetisi, efisiensi, keefektifan, kecepatan, telah diterapkan secara keliru dalam dunia pendidikan. Sebagai misal, sebenarnya kompetisi hanya akan bersifat adil kalau berada dalam paying kooperatif dan didasarkan pada kesamaan kemampuan, kesempatan, lingkup, sarana, tanpa itu semua hanyalah merupakan kompetisi yang akan mengakibatkan yang “kalah” akan selalu “ kalah & idquo;.

  3. Sekolah sebagai suatu masyarakat mini seharusnya mengajarkan & ldquo; cooperatif learning & idquo;, kerjasama dan bersama-sama, dan bukannya pertandingan intelektualistik semata-mata, yang hanya akan menjadikan manusia pandai tetapi termakan oleh kepandaiannya sendiri dan juga membodohi orang lain. Sekolah menjadi suatu paguyuban penuh kekeluargaan dan mengembangkan daya cipta, rasa dan karsa, atau aspek-aspek kemanusiaan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, dan Makin, Moh. Cetakan I : Mei 2007, Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan) Ar-Ruzz Media – Yogyakarta.

Pasti Priyono Y, Sabtu 23 Juli 2005. Menuju Pendidikan Demokratis – Humanistik, Artikel KOMPAS.

Pasti Priyono Y Pendidikan Humanistik Selasa, 1 Mei 2007, Copyright © 2002 Pontianak Post.

Riyanto Theo Br. Pendidikan yang Humanis, Tuesday 10 April 2007, SF Research Center, http://www.sfeduresearch.org.

http://haqiqie.wordpress.com/2007/09/15/humanisme-dalam-pikiranku-apakah-itu/

1 komentar:

  1. Best 10 titanium dive knife ideas on Twitter
    We've picked the best titanium knee replacement 10 titanium titanium wood stove diving knives you can columbia titanium boots find. See what their best 10 best ridge wallet titanium 10 best titanium 3d printing 10 titanium dive knives.

    BalasHapus